Sabtu, 26 Maret 2011

Gempa dan Tsunami jepang Di pandang dari Sisi Psikologis

Kembali Jepang digoyang gempa yang cukup kuat. Berkekuatan 6,4 SR dengan kedalaman 10 km di wilayah Shizuoka. Cukup menggetarkan bagi kami yang tinggal di Fujisawa karena prefektur Shizuoka terletak bersebelahan dengan prefektur kami, Kanagawa. Ini mengingatkan kami kepada trauma terhadap gempa 9,0 SR pada hari Jumat, 11 Maret 2011. Yang paling merasakan dampaknya adalah anak kami yang masih balita. Dia menampakkan gejala stres. Namun, karena belum mampu mengutarakannya, dia hanya bisa diam. Ya, anak saya hanya diam ketika gempa datang atau ketika bunyi isyarat gempa terdengar dari televisi nasional, bahkan ketika mendengar kata “goyang” atau “gempa”. Reaksi diam dan wajah pucatnya akan tertinggal pada dirinya sampai satu atau dua jam pascagempa.

Semula kami sebagai orang tua bisa mengatasinya. Namun, dengan begitu seringnya terjadi gempa, begitu masifnya terjangan tsunami dan sekarang meningkatnya krisis nuklir di Fukushima, sebagai manusia biasa pun kami mengalami stres. Rasa stres dan khawatir itu tentu saja tidak hanya menghinggapi orang asing, tetapi orang Jepang juga. Bisa dibayangkan bagaimana rasanya diguncang gempa besar 9,0 magnitudo, disusul tsunami yang meluluhlantakkan, dibuat was-was oleh krisis nuklir yang menyita perhatian dunia, dan disuguhi oleh berita di televisi seputar bencana secara terus-menerus. Bagi orang asing, ditambah lagi dengan berita-berita yang lebih heboh di tanah air; yang membuat keluarga besar di tanah air menjadi khawatir. Lama-lama, secara psikologis, itu akan berpengaruh besar kepada siapa saja.

Ketika mencoba membuka-buka Buku Panduan Pencegahan Bencana (Disaster Prevention Guidebook) dari pemerintah kota setempat, tidak ada  tips mengenai penanganan mental dan psikologi dalam situasi bencana. Semuanya hanya mengenai teknik persiapan menghadapi gempa, cara mengungsi, dan informasi seputar tempat pengungsian. Di televisi pun yang dibahas, selain dampak dan jumlah korban bencana, hanyalah hal seputar teknis-geologis yang untuk masyarakat awam (dalam keadaan darurat) sebenarnya tidak begitu penting lagi.

Yang kelihatannya terlewatkan dalam bencana gempa dan tsunami kali ini adalah penanganan aspek sosial dan psikologi dari bencana. Selain tidak adanya tips atau petunjuk pengelolaan aspek kejiwaan dalam situasi krisis bencana dalam buku panduan, menurut salah seorang rekan Jepang, agak cukup sulit pula mendapatkan bantuan tenaga psikolog untuk berkonsultasi seputar penanganan stres dalam bencana. Tenaga psikolog itu ada, tetapi biasanya di wilayah yang terkena dampak bencana paling luas dan parah.

Sekarang ini, di Jepang cukup banyak orang asing yang datang untuk belajar, bekerja, atau berwisata. Selain itu, juga banyak orang Jepang yang lahir, besar, atau pernah tinggal di luar negeri. Orang-orang seperti ini kemungkinan memiliki ambang batas toleransi yang tidak sama dengan orang Jepang yang lahir, besar, dan tinggal di Jepang dalam menghadapi bencana. Secara mental, barangkali orang Jepang biasa umumnya sudah siap dan terlatih sejak kecil menghadapi bencana alam, terutama gempa dan tsunami. Namun, hal yang sama mungkin tidak terdapat pada orang asing atau orang Jepang yang lama berada di luar negeri, terutama di negeri yang aman-aman saja dari gempa dan tsunami.
Dalam manajemen bencana, aplikasi teknologi penginderaan dan deteksi dini mungkin memang sangat perlu, tetapi penanganan aspek mental bagi anggota masyarakat yang terkena bencana juga tidak kalah pentingnya. Mudah-mudahan hal semacam ini bisa dipertimbangkan atau menjadi perhatian dalam menghadapi bencana besar di Jepang di kemudian hari.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Macys Printable Coupons