Rabu, 08 Juni 2011

Perbedaan Psikolog dan Psikiater


Beberapa orang bertanya begitu pada saya. Biasanya yang lebih banyak bertanya adalah orang-orang yang bidangnya sama sekali tidak bersinggungan dengan kedua bidang tersebut atau para calon mahasiswa yang memilih melanjutkan studi ke Fakultas Psikologi. Seperti saya dulu. Pertanyaan di atas adalah pertanyaan mendasar yang selayaknya diketahui seorang mahasiswa baru di Fakultas Psikologi agar nantinya kalau ada orang yang menanyakan pertanyaan serupa, si mahasiswa sudah tahu batasannya.

Dulu, saya sempat menganggap profesi psikolog dan psikiater itu sama saja. Sama-sama menangani orang yang sakit jiwa, begitu kata orang-orang kebanyakan. Apalagi definisi psikologi dan psikiatri sering disamakan sebagai “ilmu jiwa”. Padahal sejatinya definisi psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang perilaku manusia dalam hubungannya dengan lingkungan. Berbeda dengan psikiatri yang didefinisikan sebagai suatu cabang ilmu kedokteran yang mempelajari dan menangani gangguan mental, yang meliputi gangguan afektif, perilaku, kognitif dan perseptual (sumber: Wikipedia).

Memang, sekilas kedua profesi ini terlihat sama. Itu dikarenakan ranah kelimuannya bersinggungan di ranah psikis. Bahkan seorang ahli psikologi yang terkenal dengan teori psikoanalisanya, Sigmund Freud, sejatinya adalah seorang psikiater. Juga banyak ahli psikologi lain yang awalnya mendalami ilmu kedokteran lalu ikut berkontribusi dalam dunia psikologi. Tapi sebenarnya ada beberapa hal mendasar yang menjadi pembedanya. Berikut secara ringkas perbedaan tersebut.

Latar belakang pendidikan

Psikolog sudah pasti adalah lulusan dari Fakultas Psikologi. Lulusan S1 Psikologi sebenarnya sudah dapat bekerja di berbagai bidang yang membutuhkan jasa psikologi. Biasanya menjadi staf Human Resources Development (HRD) di berbagai instansi atau organisasi seperti, bank, perusahaan, kantor pemerintahan, atau menjadi konselor di sekolah-sekolah. Di dunia kerja, para lulusannya ini tampak setara dengan lulusan S1 dari berbagai jurusan, karena pada masa kini seringkali yang dibutuhkan adalah tenaga kerja dengan potensi, kemampuan dan keterampilan yang dapat memenuhi kualifikasi dari organisasi/perusahaan, bukan lagi berdasarkan jurusan pendidikannya di perguruan tinggi.

Namun perlu diingat, lulusan S1 Psikologi tidak serta merta disebut sebagai Psikolog. Sarjana S1 psikologi (bergelar S.Psi dibelakang namanya) masih harus melanjutkan pendidikannya ke jenjang Magister Profesi Psikologi (setara S2) untuk dapat meraih gelar Magister Psikologi (M. Psi) dan disebut sebagai psikolog. Sebagai praktisi psikologi, para psikolog ini memperoleh hak untuk ‘memegang’ alat tes, dalam arti menyimpan dan menggunakan alat tes psikologi serta menginterpretasikan hasilnya. Oleh karenanya mereka juga mendapatkan izin untuk membuka praktik sebagai psikolog di biro-biro konsultan psikologi yang biasanya ditangani secara perorangan atau kelompok (beberapa orang psikolog).

Berbeda lagi dengan lulusan S1 Psikologi yang menerusan pendidikan ke jenjang S2 sains psikologi (misalnya psikometri). Para lulusannya ini bergelar M. Si namun tidak dapat menyebut dirinya sebagai psikolog karena tidak berasal dari jenjang magister profesi psikologi. Tapi mereka dapat menjadi staf pengajar/akademisi karena persyaratan utama menjadi seorang staf pengajar di universitas (dosen) adalah bergelar S2. Mereka ini juga disebut sebagai ilmuwan psikologi. Selain itu, mereka juga dapat bekerja di berbagai instansi/organisasi yang membutuhkan kualifikasi pendidikan tersebut.

Selain lulusan S1 Psikologi, ada juga lulusan S1 non-psikologi yang meneruskan ke jenjang S2 psikologi. Namun para lulusannya ini hanya bisa melanjutkan ke magister sains psikologi, karena jenjang profesi psikologi hanya dikhususkan untuk lulusan S1 psikologi. Hal ini dikarenakan pentingnya pemahaman mendasar tentang ilmu psikologi yang diperoleh dari jenjang S1 agar nantinya langsung dapat mendalami kekhususan yang dipilih di jenjang profesi psikologi, dimana hal ini tentunya tidak didapatkan oleh lulusan S1 non-psikologi.

Sementara psikiater adalah dokter yang melanjutkan pendidikan ke jenjang spesialisasi psikiatri (kedokteran jiwa). Para lulusan spesialisasi ini digelari “Sp.KJ” (Spesialis Kedokteran Jiwa) atau disebut sebagai psikiater.

Batas Kewenangan Profesi

Mungkin kita seringkali bingung untuk merujuk seseorang yang mengalami masalah yang berkaitan dengan psikologis, apakah harus ke psikolog atau ke psikiater?

Sebagaimana spesialisasi dalam bidang kedokteran, psikologi juga memiliki banyak kekhususan, seperti psikologi klinis (meliputi psikologi klinis anak dan psikologi klinis dewasa), psikologi sosial, psikologi pendidikan, psikologi industri dan organisasi, psikologi perkembangan, dan sebagainya. Psikiater lebih dekat hubungannya dengan psikolog klinis.

Masalah-masalah yang biasanya dapat ditangani oleh psikolog secara umum adalah masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari yang masih dapat ditangani dengan konseling atau terapi ringan, misalnya dengan terapi modifikasi perilaku atau juga cognitive behavior therapy (CBT).

Masalah-masalah yang dimaksud berkisar pada ranah pendidikan (anak malas belajar, berperilaku agresif, suka membolos, takut sekolah, tidak konsentrasi belajar, prestasi belajar menurun, takut bergaul atau kurang percaya diri, sampai pada masalah pemilihan jurusan yang tepat dan sesuai dengan potensi dan kemampuan akademik anak), ranah keluarga (masalah perkawinan, perceraian yang menghasilkan keluarga broken home, masalah kenakalan remaja), dan ranah pekerjaan (masalah kepemimpinan, motivasi kerja, kepuasan kerja).

Sedangkan psikiater menangani masalah-masalah psikologis yang lebih berat, seperti depresi, gangguan mood, insomnia berat, schizophrenia (yang ditandai dengan munculnya halusinasi dan delusi), dan berbagai masalah psikologis lain yang membutuhkan penanganan lebih dari sekedar konseling. Biasanya para psikiater ini menggunakan obat-obatan dalam proses terapinya. Inilah yang membedakannya dengan psikolog.

Satu hal lagi adalah tentang penyebutan mitra kerja. Orang yang berobat ke psikiater sudah barang tentu disebut sebagai ‘pasien’, sementara orang yang datang ke psikolog disebut sebagai ‘klien’. Perlu ditekankan bahwa tidak semua orang yang datang ke biro-biro psikologi adalah orang-orang yang memiliki masalah psikologis. Para klien ini bisa saja datang karena ingin melakukan pemeriksaan psikologis (psikotes) untuk kepentingan seleksi dan rekrutmen karyawan atau penentuan jurusan studi siswa. Demikian juga dengan para pasien yang datang ke psikiater. Mereka tidak boleh serta merta disebut “gila” karena meminta bantuan psikiater.

Pada kenyataannya, kedua profesi ini saling bekerjasama dalam hal merujuk pasien. Apabila seorang klien tak dapat ditangani oleh seorang psikolog karena gangguan psikologisnya sudah berat dan membutuhkan penanganan dengan obat-obatan, maka klien tersebut dirujuk ke psikiater. Demikian juga dengan pasien yang sudah dinyatakan sembuh oleh psikiater, maka untuk meyakinkannya lagi, perlu diperiksa kembali oleh psikolog.

Jadi, tak masalah jika suatu waktu kita membutuhkan jasa psikolog atau psikiater. Karena kedua profesi ini berprinsip menolong (helping) dan pastinya memegang kode etik yang sama; menjaga kerahasiaan masalah klien/pasien.

***

Sumber : http://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2011/01/27/apa-sih-bedanya-psikolog-dengan-psikiater/

Minggu, 10 April 2011

cara unik mendapatkan anak laki - laki dan perempuan

Kehadiran anak dalam suatu keluarga adalah suatu penyempurna kebahagiaan yang sangat didambakan oleh setiap pasangan. Anak laki-laki dan anak perempuan sama saja demikian orang banyak memberikan nasehat. Namun ada kalanya jenis kelamin merupakan dambaan lain dari lahirnya seorang anak. Ada anak laki-laki dan ada anak perempuan dianggap akan lebih menyempurnakan kebahagiaan yang diperoleh. Banyak pasangan suami isteri hanya dikaruniai anak laki-laki saja atau anak perempuan saja. Bahkan tak jarang pasangan suami isteri yang tidak di karuniai anak.

Bagi sebagian kalangan seperti keluarga-keluarga Raja tentu lebih mendambakan kelahiran anak-laki-laki. Di kekaisaran Jepang yang paternalistic anak laki-laki adalah syarat mutlak untuk dapat menerusksn tahta kerajaan. Masalah anak laki-laki atau perempuan bisa menjadi masalah besar di Negara seperti jepang ini. Hal ini terkait dengan undang-undang di kekaisaran Jepang yang mensyaratkan laki-laki untuk menjadi kaisar jepang.

Dapatkah manusia memanipulasi kelahiran sehingga sesuai dengan jenis kelamin yang diinginkan. Di dunia kedokteran sebenarnya ada teknik tertentu yang diharapkan dapat meningkatkan rasio kelahiran seorang anak dengan jenis kelamin yang di harapkan. Namun ini juga tidak menjamin kelahiran sesuai dengan keinginan, karena sesungguhnya semua masih rahasia dari Allah SWT.

13074951811226028826

Secara Medis

Secara medis sepertinya sudah sering di bahas dibeberapa forum dan blog. Secara umum berhubungan erat dengan kondisi asam basa pada vagina. Jika kondisi vagina asam maka kemungkinan besar anak yang dilahirkan adalah perempuan, sedangkan dalam kondisi basa, kemungkinan nya anak lak-laki. Manipulasi keasaman dan kebasaan pada vagina dapat dilakukan dengan berbagai macam cara.Dari mulai pemberian soda kue yang dicampur dengan air sampai dengan cuka. Jika penetrasi dilakukan dekat dengan servix dan vagina dalam kondisi basa,maka kemungkinan besar anak yang dihasilkan adalah anak laki-laki. Jika Jika ejakulasi dilakukan jauh dari servix dan vagina dalam kondisi asam, maka kemungkinan besar akan dihasilkan anak perempuan. Namun semua ini hanyalah teori berdasarkan karakteristik sperma dan vagina, tidak bisa di jadikan patokan. Kenyataannya secara praktek, teknik ini juga seringkali mengalami kegagalan.

SecaraTradisional

Di kampungku ada suatu tradisi unik jika kita ingin mempunyai anak sesuai keinginan kita. Hal ini di alami sendiri oleh ibuku beberapa tahun yang lalu. Tahun 1979, saat itu ibuku mempunyai empat orang anak yang semuanya laki-laki. Pada saat itu ibuku sedang hamil 3 bulan dan mendambakan kelahiran anak perempuan diantara empat anak laki-lakinya. Seorang tetua dikampungku menyarankan untuk mengadakan Tradisi Tukar Centong. Tradisi ini lazim di lakukan untuk orang-orang yang mendambakan kehadiran seorang anak sesuai denagn jenis kelamin yang diinginkan. Centong yang di gunakan dalah centong yang terbuat dari kayu bukan dari plastic seperti yang biasa di pakai saat ini.

Tradisi ini mempertemukan dua keluarga yang mendambakan anak dengan jenis kelamin yang berbeda. Ibuku mendambakan kelahiran anak perempuan sedangkan keluarga pak Dayat mendambakan kelahiran anak laki-laki. Ibuku mempunyai empat orang anak semuanya laki-laki. Pak Dayat mempunyai 5 orang anak yang semuanya perempuan. Bu ningsih isteri pak dayat saat itu juga hamil 3 bulan.

Di pertemukanlah dua keluarga ini. Pada hari yang ditentukan masing-masing keluarga membawa sebuah centong nasi yang terbuat dari kayu. Serangkaian doa-doa pun dipanjatkan kemudian dilakukan pertukaran centong seperti layaknya pertukaran MOU (Memorandum of understanding) antara dua pihak. Ibuku menerima centong yang terbuat dari kayu rambutan sedangkan bu ningsih memperoleh centong yang terbuat dari kayu nangka. Segala ritual rela mereka jalani demi untuk mendapatkan anak sesuai dengan jenis kelamin yang di inginkan. Acara ditutup dengan pembacaan doa dan makan bersama.

Waktu pun terus berlalu, ibuku harap-harap cemas menanti kelahiran anak kelimanya. Akhirnya pada hari sabtu tanggal 23 September 1979, lahirlah adik ku, perempuan. Kebahagiaan saat itu begitu membuncah di dada ibuku. Lengkap sudah kebahagiaannya dalam berumah tangga. Lima anak, empat laki-laki dan ditutup oleh kelahiran anak perempuan yang di dambakan nya.

Lalu bagaimana dengan ibu nIngsih?

Amazing, Ibu ningsih melahirkan anak laki-laki yang sangat di tunggu-tunggunya.Kebahagiaan pun menaungi rumah keluarga ini. Lima orang anak perempuan dan ditutup dengan seorang anak laki-laki.Doa syukur pun segera di panjatkan oleh kedua keluarga ini.

Ritual tradisional ini memang sudah sejak lama ada dikampungku, namun keberhasilannya pun tidak bisa seratus persen. Entah kebetulan saja atau bukan, yang jelas ibuku sudah membuktikan bahwa ritual tukar centong ternyata mampu menjawab penantiannya selama ini. Sudah banyak pasangan yang tertolong dengan tradisi ini. Meskipun ada juga yang mengalami kegagalan.

Kini ritual tukar centong yang terbilang unik ini sudah lama tidak dilakukan. Saat ini banyak pasangan muda yang tidak terlalu mempersoalkan jenis kelamin anak nya, laki-laki atau perempuan sama saja. Sehingga tradisi inipun sudah semakin jarang dilakukan. Jumlah anak dalam satu keluarga pun semakin sedikit. Saat ini dalam satu keluarga paling ada 2 sampai 3 anak saja.

Cara apapun yang dilakukan oleh manusia dalam berihtiar, sejatinya hanya Allah SWT yang mempunyai kekuasaan untuk mementukan jenis kelamin tiap mahluk yang di lahirkan kebumi. Manusia hanya berusaha, Tuhan yang menentukan.

Keterangan :

Centong : Alat untuk menyendok Nasi, jaman dulu biasa terbuat dari kayu, namun saat ini lebih banyak yang terbuat dari plastik

Cara mengatasi Perasaan Bersalah

Perasaan bersalah itu bagus, sesuatu yang patut disyukuri, sebuah sinyal sesuatu harus dibereskan. Perasaan bersalah itu adalah bentuk pengakuan. Hanya dengan jujur mengakuinya terlebih dahulu, bahwa ada sesuatu yang harus diluruskan, maka seseorang sudah selangkah lebih maju untuk kemudian akan mencari cara bagaimana meluruskan hal yang membuatnya merasa bersalah tersebut. Perasaan bersalah sebaiknya disampaikan, meminta maaf kepada siapa saja yang sedang terlibat dalam hubungan, dimana perasaan bersalah itu berasal. Entah kepada anak, pasangan, orang tua, kawan, kolega, orang yang baru dikenal yang tak sengaja tersenggol di jalan, dan seterusnya.

Penyampaian perasaan bersalah ini akan menenangkan pikiran, sebab seseorang akan mendapatkan kepastian mengenai kualitas sebuah hubungan. Setelah permintaan maaf, seseorang memiliki kesempatan untuk membangun kembali hubungan yang baik. Selain itu, dengan menyampaikan latar belakang perasaan bersalahnya, dari dialog yang kemudian terjadi, seseorang akan tahu apa sesungguhnya yang ada dalam pikiran orang yang merasa dipersalahi. Sebab bisa terjadi, perasaan bersalah itu terjadi karena dugaannya yang kurang baik. Dengan dialog diharapkan segala sesuatunya menjadi jelas.

Dari bangun tidur hingga mau tidur lagi, manusia berhubungan dengan manusia. Persinggungan, gesekan, salah paham, bisa terjadi di dalam hubungan tersebut. Segala jenis hubungan antarmanusia retak, salah satunya terjadi karena dugaan yang tidak baik. Dugaan yang tidak baik ini merasuk dalam pikiran, berkembang liar lalu berakhir dengan kesimpulan yang ternyata keliru. Oleh sebab itu, kalau mau menduga sebaiknya menduga yang baik. Lebih mudah menduga baik. Kalaupun salah akan menjadi salah baik, bukan salah salah.
Menduga tidak baik itu melelahkan. Itulah mengapa kunci sukses segala jenis hubungan terletak pada komunikasi yang baik dan terbuka. Dengan keterbukaan, segala masalah serumit apapun tampaknya akan bisa segera diurai untuk kemudian diatasi dengan lebih cepat. Sehingga lelah hati itu tidak perlu berlangsung lama.

Pernyataan bersalah akan mengantarkan seseorang pada kelapangan dada. Dengan lapang dada, seseorang akan mudah menjalin hubungan yang baik ke atas, ke bawah, ke samping kiri, ke samping kanan. Menjaga hubungan baik kepada empat dimensi tersebut, dunia akan penuh kedamaian.

Hubungan Warna dan Emosi

Kita menyadari bahwa hari yang cerah bisa mengangkat suasana hati, ruang belajar dengan nuansa warna biru bisa meningkatkan gairah belajar, dan taplak meja berwarna orange atau merah membuat kita makan lebih lahap. Tetapi, mekanisme otak yang terlibat di dalam efek seperti itu masih belum terlalu diketahui.

Para periset pada Cyclotron Research Centre (University of Liege), Geneva Centre for Neuroscience (University of Geneva) dan Surrey Sleep Research Centre (University of Surrey) meneliti efek cahaya serta komposisi warnanya , pada pemrosesan emosi di otak dengan menggunakan pencitraan resonansi magnetik fungsional. Hasil kajian mereka menunjukkan bahwa warna cahaya mempengaruhi cara otak manusia memroses rangsangan emosional.

Aktifitas otak dari para relawan sehat direkam sementara mereka mendengarkan “suara-suara marah” dan “suara-suara netral” serta dipapar cahaya biru atau hijau. Cahaya biru bukan hanya meningkatkan respon terhadap rangsangan emosional pada “area suara” otak dan hippocampus, yang penting untuk proses ingatan, tetapi juga menjurus ke interaksi yang lebih ketat antara area suara, yang adalah area kunci dari pengaturan emosi, dan hipothalamus, yang esensial bagi pengaturan ritme biologis.

Penemuan kajian ini memiliki dampak penting pada pemahaman kita akan mekanisme warna pada emosi, yang bisa kita gunakan dalam mengatur cahaya lingkungan untuk mengubah suasana hati, bukan saja pada kasus kelainan suasana hati yang menggunakan terapi cahaya, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari, di rumah, di sekolah, dan di tempat kerja, termasuk bagaimana memilih warna pada kemasan berbagai macam produk , warna dominan ruang caffe, bengkel dan klinik bersalin serta berbagai tempat lainnya.

Warna dan hari

Warna dipercaya bisa mempengaruhi kesehatan dan kebahagiaan anda, sekaligus ikut menentukan keberuntungan anda. Kenakanlah busana dengan warna yang sesuai di hari-hari kerja anda dan perhatikan apakah keberuntungan anda ikut berubah.

Mengenakan busana atau t-shirt warna kuning pada minggu atau sunday yang berasal dari sun atau matahari, di mana matahari mempengaruhi matahari. Gunakan handuk kuning muda atau hias rumah anda dengan rangkaian bunga warna kuning pada hari ini. Hal ini dipercaya bisa meningkatkan kebahagiaan, menenangkan pikiran dan akan mengharap hari minggu anda cepat berlalu.

Hari senin atau Monday berasal dari moon adalah hari emosional tinggi. Kenakanlah busana warna putih, krem, dan biru akan membantu mengendalikan emosi. Karena hari Senin dipengaruhi bulan, Senin bukanlah hari baik untuk memulai diet karena makanan mempunyai hubungan yang erat dengan emosi anda. Lakukanlah pada hari Selasa atau Rabu, hal itu akan sukses saat anda memakai warna cerah.

Untuk hari Selasa biasanya dipengaruhi planet Mars yang berapi-api sekaligus aktif. Mengenakan warna merah, merah tua dan orange akan membantu anda menangani semua aktivitas dan membuat anda merasa lebih bersemangat. Selasa merupakan hari baik untuk kegiatan bisnis atau menyelesaikan sesuatu.

Rabu yang dipengaruhi planet Merkurius merupakan planet komunikasi dan keberhasilan. Warna yang cocok untuk anda kenakan adalah warna cerah seperti biru pastel atau merah muda. Siapkan busana yang warnanya paling cerah agar anda akan merasa senang sepanjang hari. Jika anda ingin memulai proyek baru, membuka usaha atau pindah rumah, ini adalah hari yang cocok melakukan itu semua.

Sedangkan untuk hari Kamis yang dipengaruhi Yupiter merupakan planet pertumbuhan dan prestasi. Hari ini adalah hari keberhasilan dan ekspansi. Kenakanlah busana warna biru atau violet, yang merupakan warna damai serta dukungan. Jika anda ingin merencanakan makan malam romantis di hari Kamis, hiasi ruangan dengan bunga violet dan jangan lupa kenakan busana biru.

Selanjutnya untuk hari Jumat yang dipengaruhi planet Venus merupakan hari pertumbuhan. Kenakanlah busana berwarna hijau atau warna-warna tanah. Hari ini juga sangat baik untuk mencuci dan berlibur, tempatkan sebuah pot tanaman di dalam rumah.

Planet Saturnus mempengaruhi hari Sabtu dan dikaitkan dengan kedudukan seseorang dalam masyarakat. Sabtu merupakan hari di mana kegiatan rutin bisa mendadak berubah dan menimbulkan kekacauan. Sebenarnya hari Sabtu tidak baik untuk melakukan suatu ikatan perkawinan, hari yang baik adalah hari Rabu. Kenakanlah busana yang berwarna ungu, cokelat atau hitam seperti satin atau brokat hitam agar hari Sabtu anda berjalan dengan baik dan menyenangkan.

Siapkanlah busana dan aksesoris untuk mengisi hari-hari anda lebih cerah, bahagia dan sempurna.

sumber: media kawasan

Manfaat dan jenis Dongeng bagi Anak dan Orang Tua.

Eksistensi dongeng di tengah kemajuan dunia elekronik menjadi sebuah wacana yang mulai di kembangkan oleh sebagian organisasi dan individu yang memiliki kepedulian terhadapnya. Salah satunya adalah PARADOKS (Parade Dongeng Anak Nusantara), yaitu sekelompok kompasianer yang akan menggelar festival dongeng anak clasic dan futuristic pada tanggal 23-24 April 2011. Aksi yang dilakukan pada hari itu adalah akan mempublish dongeng-dongeng anak secara bersamaan. Karya yang telah di publikasi itu rencananya akan di inventarisir dan diabadikan dalam media cetak (buku).

Mengapa dongeng masih perlu digunakan dan apa saja manfaatnya?

Pada dasarnya, dongeng adalah salah satu media hiburan bagi anak anak, karena dengan dongeng anak anak bisa merasa tenang dan nyaman dalam menjelajahi cakrawala imajinasinya. Sementara itu sebagai pendongeng (khususnya orang tua) dituntut untuk senantiasa bisa memiliki wawasan yang kreatif, edukatif dan imajinatif, sehingga sajian dongeng bisa menjadi sebuah hiburan yang bermanfaat ganda bagi anaknya, yaitu memberikan hiburan dan petuah di dalamnya.

Secara garis besar dongeng bermanfaat bagi perkembangan psikologi anak dan keharmonisan hubungan dalam sebuah keluarga. Dimana didalamnya terjadi intraksi hubungan yang harmonis antara pendongeng (orangtua) dan yang menyimak dongeng (anak). Lebih jelasnya adalah sebagai berikut :

Pertama, anak akan memvisualisasikan latar, tokoh dan keseluruhan situasi yang terjadi dalam sebuah dongeng, sehingga daya kreativitasnya dalam berimajinasi akan senantiasa dipicu. Dari sini maka jika dongeng di berikan dengan kontinuitas yang relatif stabil maka daya kreasi anak pun akan semakin terpicu untuk lebih kreatif lagi. Dengan kata lain dongeng bisa mengasah daya fikir dan imajinasi anak.

Kedua, metode penyampaian pesan moral yang efektif. Mengintip keberhasilan orang tua dalam menyampaikan pesan moral atau wejangan melalui dongeng memang sudah menjadi sebuah alasan dongeng kembali di galakan. Dalam hal ini, nasihat atau pesan pesan moral yang disampaikan orang tua kepada anaknya, akan lebih cepat diresapi dan diterima oleh pendengar (anak anak) melalui dongeng. Kemasan cerita yang di pilih memang menjadi salah satu penentu muatan moral yang disampaikan.

Ketiga, menumbuhkan minat baca. Anak usia pra-sekolah yang kerap kali mendegarkan dongeng, akan terpancing untuk mencari dan membaca cerita yang telah di dengarnya tersebut ketika dia telah bisa membaca. Dari sini diharapkan anak yang diawali dengan membaca dongeng tersebut akan terpancing untuk membaca buku/tulisan yang lebih variatif seperti sains, sosial budaya, agama dan sebagainya.

Keempat, Dongeng menjadi sebuah jembatan spiritual yang mengarah pada kedekatan emosional antara pendongeng dan penyimaknya. Dalam hal ini orang tua sebagai pendongeng akan mendapat nilai plus dari anaknya, sehingga kedekatan emosional itu menjadi sebuah manfaat yang secara tidak langsung diperoleh dari aktifitas mendongeng. Tak dapat dipungkiri penulis sebagai contohnya merasakan begitu hanyatnya seorang ibu waktu dulu menceritakan dongeng, sehingga pada saat ini sosok ibu menjadi sorang yang angat dirindukan.

Kelima, memicu daya kreatifitas dan memancing wawasan luas bagi orang tua. Daya kreatifitas berfikir anak yang telah diberikan dongeng, bisa memicu dan menimbulkan rasa keingin tahuan yang begitu banyak. Maka orang tua senantiasa dituntut untuk mencari jawaban atas semua pertanyaanya. Selain itu orang tua juga akan diasah kreatifitasnya dalam penyampaian jawaban, karena baik kosakata maupun kejadian yang berlangsung tidak bisa diterima/dimengerti oleh anak pada beragam usianya. Sehingga orang tua akan mengalami perkembangan wawasan dan kreatifitas yang drastis.

Dari sekian manfaat dongeng untuk anak, orang tua seyogyanya harus bisa memilih dongeng yang sesuai untuk perkembangan psikologi anak. Disini beberapa dongeng memang memiliki nilai budaya yang luhur namun seorang anak belum tentu bisa menyaring dan memposisikan muatan moral ada di dalamnya. Sebgai contoh dongeng : Dongeng klasik Sangkuriang yang mengisahkan romantika percintaan anak kepada ibunya, dan dongeng lain yang bisa diterima dan ditafsirkan oleh orang dewasa. namun bagi anak sebaiknya tidak di berikan terlbih dahulu. Karena dikhawatirkan akan menimbulkan pemahanan yang negatif bagi perkembangan psikologi anak.

Dongeng dan manfaat yang bisa disisipkan dalam ceritanya.
Ada tiga jenis dongeng yang biasa di berikan kepada anak anak yaitu, dongeng binatang/fable, dongeng biasa dan dongeng lelucon. Dari ketiga dongeng yang disebutkan semuanya bisa diberikan orang tua kpada anaknya dengan cara memilih content cerita yang sesuai. Dalam hal ini modifikasi atau bahkan dongeng karya sendiri bisa menjadi pilihan yang bisa diberikan, dengan kata lain orang tua dituntut untuk bisa mencari sebanyak banyaknya sumber dongeng atau inspirasi untuk membuat dongeng baru, sebagai bahan untuk mendongeng.

Jenis dan manfaat ketiga dongeng tersebut diantaranya adalah :
Pertama, Dongeng binatang/fable. Dalam dongeng ini binatang bisa berbicara dan bertingkah seperti manusia, sehingga muatan moral yang bisa diberikan daiantaranya : anak bisa memahami perasaan binatang jika tiak diberi kasih saying oleh majikannya. Menggambarkan perwatakan binatang dan sifat baik dan buruknya, contoh kesombongan kelinci yang di kalahkan dalam loba lari oleh kura kura. Menggambarkan kerukunan semut yang senantiasa saling menyapa kepada kawanananya, selain itu semut memiliki ketekunan bekerja sehingga di musim hujan mreka memili persediaan makan yang banyak.
Kedua, Dongeng biasa. Dongeng ini mengisahkan cerita yang memiliki kisah kisah bermuatan suka dan duka yang di kemas sedemikian rupa sehingga menjadi cerita yang menarik dan bermuatan moral. Dongeng klasik yang biasa di ceritakan adalahsperti dongng bawang putih dan bawang merah. Manfaat dari dongeng ini biasanya memiliki kisah retorika dalam cerita yang bis di tmukan pada kehidupan sehari hari. Sebagai contoh rasa saling sayang menyanyi antara sahabat, keluarga dan seluruh lingkungan yang ada. Dalam dongeng ini kecenderungan kemiripan dengan realita yang ada memang lebih besar daripada dongeng binatang/fabel.
Ketiga, Dongeng lelucun. Dongeng ini lebih banyak memuat cerita cerita humor yang menyuguhkan hiburan bagi anak seperti dongeng sikabayan (jawa barat) yang lugu dan penuh dengan akal dalam kehidupannya shari hari. Manfaat dongeng ini selain hiburan bisa juga disisipkan nilai nilai moral yang ada dari tokoh didalamnya, dan pendongeng dalam hal ini harus bisa mengolahnya sedmikian rupa sehingga dongeng tersebut tidak hanya memiliki manfaat sebagai hiburan saja.

Terlepas apakah dongeng masih menjadi salah satu media yang digunakan orang tuan untuk menghibur anaknya atau menjadi media penyampaian nilai moralitas kehidupan, yang jelas dongeng memang menjadi salah satu budaya yang memiliki nilai positif jika di berikan dengan baik kepada anak. Namun demikian eksistensi dongeng dewasa ini memang mulai berkurang karena tersisihkan oleh perkembangan media elektronik yang semakin pesat.

Dengan demikian mari kita budayakan kembali mendongeng sebagai salah satu budaya yang memilki nilai nilai pelestarian budaya yang luhur ini. Selain itu sisi positifnya yang ada antara perkembangan psikologi anak, perkembangan wawasan orang tua, serta hubungan antara orang tua dan anak bisa menjadi salah satu alasan untuk kita membiasakan mendongeng kepada anak.

Sabtu, 26 Maret 2011

Kritik Teori Psikologi.


Kalau kita amati sepintas teori-teori psikologi kontemporer yang tersedia di dunia akademik kita, boleh jadi akan timbul kesan bahwa semuanya baik-baik saja. Kesan ini akan membawa sikap lanjutan, yaitu bahwa yang penting untuk kita lakukan adalah sekedar menerimanya dan mengoperasikannya di lapangan. Akan tetapi, jika teori-teori itu kita cermati secara kritis, sangat boleh jadi kesan baik tersebut akan buyar.

Kritisisme – kiranya kita semua sepakat – sangat diperlukan agar suatu karya budaya apapun, termasuk psikologi, menjadi dinamik: tumbuh dan berkembang menuju penyehatan dan penyempurnaan. Lebih-lebih lagi bagi kita, masyarakat akademik negara dunia ketiga, sikap kritis bukan saja akan mengantarkan kita menjadi konsumen ilmu yang baik, akan tetapi juga menjadi prasyarat utama bagi tumbuhnya kreativitas penciptaan teori-teori baru (theoriebuilding) atau bahkan teori-teori psikologi berparadigma baru. Relevansi dan urgensi untuk hal yang disebut terakhir itu kiranya jelas dengan sendirinya, yaitu mengingat psikologi adalah ilmu yang sangat sentral dan sarat nilai, yakni menyangkut pemahaman dan perlakuan terhadap kehidupan kejiwaan manusia. Sementara kita tahu, bahwa psikologi yang kita hadapi saat ini adalah psikologi Barat dengan segala muatan nilai-nilai kulturalnya.

Berikut ini kita akan dicoba-kemukakan kritik teori psikologi atau kritik terhadap teori-teori psikologi, yang akan meliputi kritik empiris, kritik epistemologis, dan kritik ideologis.

Kritik teori ini diharapkan dapat menyingkap cacat-cacat sistemik yang melekat pada (beberapa) teori psikologi. Dengan kritisisme ini, dan selanjutnya dengan tetap memelihara sikap arif, yakni tetap mengapresiasi dan memanfaatkan (apa yang kita anggap sebagai) kebenaran-kebenaran yang terkandung dalam psikologi Barat tersebut, diharapkan akan memunculkan sikap progresif. Yang dimaksud dengan sikap progresif adalah keberanian melakukan upaya-upaya inisiasi untuk membangun paradigma atau teori-teori psikologi alternatif yang lebih sesuai dengan keyakinan akal dan jiwa sehat kita, yang diharapkan dapat memainkan peran besar dalam upaya menyehatkan dan memanusiawikan peradaban, dan yang integratif dengan pandangan ideologis kita.

Kritik Empiris

Teori adalah abstraksi yang bersifat umum dan formal dari hasil-hasil temuan lapangan. Dalam psikologi, teori-teori itu sering merupakan abstraksi dan generalisasi dari suatu sampel penelitian terhadap perilaku sejumlah manusia di suatu masyarakat dan kebudayaan tertentu. Suatu teori juga dibangun di atas landasan postulat dan asumsi-asumsi tertentu yang seringkali berbeda antara satu dan lain teori (Suriasumantri, 1984). Dengan demikian pada gilirannya kita bisa mempersoalkan apakah suatu teori mampu menjelaskan suatu kenyataan lapangan tertentu atau dapat berlaku dalam kenyataan lapangan dengan setting budaya yang berbeda dari budaya asal teori tersebut dirumuskan. Demikian juga terhadap konsep-konsep yang mendasari teori tersebut, dan metode penerapan teori tersebut.

Untuk contoh kritik empiris ini dapat dikemukakan temuan antropolog Margaret Mead (1928) di masyarakat Samoa, yaitu bahwa anak-anak remaja Samoa ternyata tidak mengalami apa yang dikenal sebagai storm and stress dalam masa perkembangan mereka. Padahal konsep storm and stress yang merupakan hasil temuan pada anak-anak remaja di Amerika Serikat waktu itu dianggap sebagai konsep yang universal, berlaku di mana saja. Kultur di Samoa, rupanya berbeda dengan di Amerika, memungkinkan masa remaja – yang merupakan peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa – berlangsung secara mulus saja, tanpa storm and stress.

Contoh lain adalah temuan antropolog Ruth Benedict, bahwa dorongan berkompetisi yang oleh para ahli psikologi semula dianggap sebagai insting, dus bersifat universal, ternyata juga sangat tergantung pada sistem kebudayaan. Pada masyarakat suku Indian Zuni ternyata tidak ditemukan adanya semangat kompetisi. Yang ada adalah semangat untuk selalu membantu orang lain yang mengalami kesulitan. Di sana masyarakat tidak melihat perlunya bersaing untuk mengalahkan orang lain. Demikian juga pada suku Hopi, Arapesh, dan Pueblo.

Contoh lain lagi adalah kritik empiris terhadap konsep-konsep psikoanalisa (Sigmund Freud) dan teori-teori yang mendasarkan diri pada konsep-konsep tersebut. Betapapun kaburnya konsep-konsep psikoanalisa tersebut, sejumlah ahli telah berhasil melakukan studi empirik yang dalam keseluruhan hasilnya ternyata menyangkal kebenaran konsep-konsep dan teori-teori itu. Branislav Malinowski (1927) tidak memperoleh bukti adanya apa yang dinamakan konflik oedipal di antara penduduk pulau Torbiand. Prothro (1961) dalam studinya terhadap praktik-praktik pendidikan anak di Libanon memperoleh bukti bahwa karakter anal sesungguhnya tak berhubungan dengan toilet training seperti yang diteorikan Freud. Dan, Victor E. Frankl (1964) lewat serangkaian penelitiannya memperoleh kesimpulan bahwa tak ada hubungan antara citra ayah positif dangan keyakinan agama seseorang dan sikapnya terhadap Tuhan.

Kritik Epistemologis

Epistemologi (filsafat pengetahuan) adalah pembahasan logis tentang apa yang mungkin diketahui oleh manusia, dan bagaimana cara manusia mendapatkan pengetahuan. Epistemologi, yang merupakan inti sentral setiap pandangan dunia (world view) ini menyibukkan diri dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai apa sumber-sumber pengetahuan; apa hakekat, jangkauan, dan wilayah pengetahuan; bahkan tentang apakah memang dimungkinkan manusia memperoleh pengetahuan; dan kalau iya sampai pada tahap mana pengetahuan yang dapat dianggap manusia (Sahakin & Sahakin, 1965). Tercakup di dalam epistemologi adalah pembahasan mengenai filsafat ilmu yang secara spesifik mengaji hakekat pengetahuan ilmiah.

Karena semua pembahasan filsafati itu bersendikan logika, maka yang dimaksud dengan kritik epistemologis adalah pengujian apakah suatu teori mengandung kontradiksi tertentu dalam konstruknya, atau apakah dalam diri teori itu memiliki konsistensi logis atau tidak. Hal yang sama dilakukan terhadap konsep-konsep yang mendasari suatu teori.

Berikut ini beberapa contohnya. Pandangan statistikal atau pendekatan grafik-kurva-normal adalah salah satu norma untuk menjawab pertanyaan: siapakah yang normal dan siapakah yang abnormal secara psikologis? Berdasarkan konsep ini disimpulkan bahwa orang-orang yang normal adalah orang-orang yang berperilaku psikologis sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Mereka, yang normal, adalah yang terkumpul di tengah grafik yang berbentuk lonceng itu. Pandangan seperti ini mengandung kesulitan logis, dikarenakan konsekuensinya kita harus menganggap orang-orang yang emosinya luar biasa stabil, misalnya, sebagai orang-orang abnormal, sama seperti orang-orang sub-normal yang mengalami gangguan emosional gawat atau orang-orang neurotik.

Norma lain, dari sudut pandangan kultural, konsep keabnormalan jauh lebih kabur lagi. Ini disebabkan karena pandangan tersebut memberikan kewenangan menimbang kenormalan dan keabnormalan seseorang pada lingkungan sosio-kultural orang tersebut. Karena itu tingkah laku yang dianggap abnormal pada suatu masyarakat atau suatu kelompok tertentu, bisa saja dianggap normal jika orang itu pindah ke kelompok lain. Malik B. Badri (1986) memberi contoh sebuah adat istiadat Sudan (yang non-Islam) di daerah Gezira, di mana pada upacara-upacara perkawinan, pengatin pria mencambuki beberapa orang laki-laki, yaitu teman-temannya, yang dengan sangat suka rela menjadi memar-memar tubuhnya, seolah dalam trance hipnotik. Sementara itu, para penonton wanita bersorak-sorai memberi semangat dan menikmati peristiwa yang dipandang sangat “normal” tersebut. Menyaksikan peristiwa itu, psikolog Amerika penganut Freudianisme mungkin akan menganggap pengatin pria atau teman-temannya yang dicambuki itu sebagai pengidap kelainan seksual. Si pengantin pria akan dicap sebagai seorang sadistik yang mendapatkan kenikmatan erotik dengan menyakiti orang lain, dan yang dicambuki adalah orang-orang masokhis yang terpuasi nafsu erotiknya dengan disakiti.

Kritik Ideologis

Kritik ideologis bertujuan menyingkap dan mengungkap segi-segi ideologis, nilai-nilai, pandangan-pandangan dasar tentang manusia dan semesta yang mendasari atau menyusup dalam suatu teori atau juga ikut membonceng dalam penerapan suatu teori.

Anggapan bahwa ilmu tidak memberikan penilaian (evaluation), tapi hanya mau mengemukakan fakta apa adanya dengan cara objektif sebagaimana yang bisa disimpulkan dari suatu kumpulan data dan fakta empiris, telah disangkal keras oleh Gunnar Myrdal (1969). Dalam semua usaha ilmiah tidak bisa dihindarkan adanya suatu unsur apriori. Oleh sebab itu, unsur-unsur apriori yang berupa asumsi-asumsi dasar, faham-faham ideologis yang mendasari suatu teori hendaknya tidak disembunyikan, melainkan harus dirumuskan dengan jelas agar dapat secara terbuka didiskusikan. Jelaslah bahwa fakta-fakta tidak mengoganisir diri menjadi konsep-konsep dan teori-teori hanya karena diamati. Fakta-fakta dapat diorganisasi menjadi konsep atau teori hanya setelah diolah dengan menggunakan kerangka konseptual tertentu yang tentunya sudah ada dalam benak sang teoritisi atau dipilih secara apriori. Bahkan apa yang dinamakan fakta-fakta ilmiah pun hanya akan tampak jika dilihat dengan kerangka gagasan atau teori tertentu yang tentunya dipilih secara subjektif, dan tidak tampak kalau kita memakai kerangka gagasan atau teori yang lain. Bagi orang yang hanya percaya pada empirisme, misalnya, adalah berarti ia sudah berpihak kepada empirisme dan tidak pada intuisionalisme. Dus, sudah tidak netral lagi. Maka bagi seorang empiristik, objektivitas sudah diredusir maknanya menjadi kepastian empiris belaka (Myrdal,1969).

Jadi, seorang psikolog yang memandang manusia sebagai seekor binatang materialistik yang bermotivasi tunggal untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik dan sosialnya “di sini dan saat ini” (here and now), dengan sendirinya – dalam hal ini, setidak-tidaknya – berpandangan atheis. Manusia dianggap tidak memiliki jiwa, orientasi dan kerinduan terhadap hal-hal yang tinggi dan metafisis sifatnya. B.F. Skinner yang dengan tegar tidak mau mengakui adanya apa yang dimaksud dengan kehendak bebas (free will) dalam perilaku manusia, dan yang memandang manusia bagai mesin belaka (Hjelle & Ziegler, 1981), maka tentunya di dalam sistem psikologinya berkonsekuensi menonsenskan tanggung jawab manusia. Kenapa manusia harus bertanggung jawab jika ia tidak lebih dari mesin yang bertingkah laku semata atas dasar stimulus-respons? Sama pula dalam psikoanalisa Freud, pertanggungjawaban mustahil diminta karena manusia hanyalah binatang yang bergerak atas dorongan insting: eros dan thanatos. Memang, psikoanalisa tidak terlepas dari pandangan Freud bahwa konsep Tuhan tidak lain adalah sebuah delusi ciptaan manusia. Dan, Freud menyesali kenapa manusia masih menyembah apa yang dianggapnya sebagai ilusi palsu yang diciptakan karena kebutuhan-kebutuhan masa kecil. Begitulah, dalam pandangan psikologi tadi, manusia hanyalah sekedar makhluk psiko-fisikal-sosial belaka, tak ada jiwa atau ruh yang menautkan manusia dengan Tuhan.

DAFTAR PUSTAKA:

Badri, Malik B., Dilema Psikolog Muslim, (Terjemahan Siti Zaenab Luxfiati),

Jakarta: Penerbit Firdaus, 1986

Hjelle, Larry A. & Ziegler, Daniel J., Personality Theories: basic Assumtions,

Research, and Aplications, Auckland: McGraw-Hill International Book

Company, 1981

Myrdal, Gunnar, Objectivity in Social Research, New York: Pantheon Books,

1969

Sahakin, William S. & Sahakin, Mabel L., Realm of Philosophy, Cambridge:

Schenkman, 1965

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1984

(Dimuat di majalah ilmiah “Kalam”, Yogyakarta, nomor 5 vol. III tahun 1993; kemudian dimuat di buku “Membangun Paradigma Psikologi Islami”,

editor: Fuat Nashori, Yogyakarta: penerbit Sipress, 1994)

Psikologi Kematian.

Hidup dan ada didunia ini hingga saat ini tidak pernah berpesan pada Tuhan sebelumnya dan hingga menjadi apa nanti, terlahir dari rahim siapa pun tak pernah berpesan pada Tuhan sebelumya. Hingga kekurangan dan kelebihan yang diberikan Tuhan itupun bukan barang pesanan. Karena mungkin kita sudah tahu Tuhan menerapkan sistem dagang ala supermarket atau plaza yang tidak mungkin untuk ditawar dan tidak dapat dipesan sebelumnya.

Mungkin setiap dari kita sudah tahu dan mengerti akan barang dagangan Tuhan yang tidak dapat ditawar – tawar lagi oleh satupun mahluk-Nya didunia ini, seperti ; lahir dan menghilang “maut atau ajal”, jodoh dan rejeki yang kesemuanya itu dibalut dan dirangkai dalam suatu paket produk yang dinamakan takdir.
Berbicra mengenai takdir “kematian” …
Kematian merupakan hal yang sangat ditakuti oleh siapa pun “manusia” yang hidup, termasuk kalian “pembaca” dan mungkin saya “penulis”. Karena dalam benak kita yang hidup, kematian merupakan suatu proses berhentinya fungsi – fungsi tubuh secara keseluruhan baik fisik atau pun non fisik yang bersifat permanent “selamanya”. Dalam hal ini mati lahir dan mati bathin.

Kematian merupakan suatu fenomena alam yang sudah pasti dan akan datang pada setiap partikel – partikel yang memiliki nyawa dan hidup, baik hewan, tumbuhan dan kita manusia. Karena pada dasarnya bagi kita yang hidup telah melakukan perjanjian khusus denga Sang Khalik bahwa stelah kita dihembuskan nafas kehidupan maka akan diambil kembali kapan waktu dan setelah kita dicukupkan atau disempurnakan baik akal, pengetahuan hingga usia yang diberikan. Mau atau tidak mau, bisa atau tidak bisa da suka atau tidak suka.

Jika kita yang hidup tidak mati, maka dunia ini akan muak dan sumpek karena tidak mampu menopang kita yang selalu beregenerasi dan menghasilkan keturunan – keturunan baru. Dunia ini pun akan terasa sempit karena volume dunia yang terbatas dan tidak sebandingnya dengan kapasitas manusianya yang semakin bertambah. Bayangkan…

Dan jika kita yang hidup akan tetap hidup dan tidak mati, maka Tuhan dengan segala kuasa dan kekekalan-Nya patut untuk dipertanyakan. Karena Tuhan itu sendiri pun sudah patut untuk dipertanyakan ke-eksistensian-Nya yang ditopang oleh dimensi “ruang dan waktu”.
Pernah penulis bertanya ketika penulis duduk dibangku kuliah di salah satu kampus islami ternama di Jakarta. Pertanyaan yang mungkin nyeleneh dan sedikit sedehana tetapi sulit untuk mendapatkan penjelasan yang berawal dari sebuah kue putih  yang mengatas namakan penebusan dosa.


Pertanyaannya adalah :
Jika kita umat islam diajarkan tentang hari pembalasan serta akhirat, yang mengartikan bahwa disana kita akan dimasukan kedalam surga jika kita beramal shaleh selama hidup didunia dan kita akan dimasukan kedalam neraka jika kita banyak berbuat maksiat selama hidup. Begitu pula  diajaran umat nasrani yang mengatakan jika kita makan kue putih yang cerita atau mungkin riwayatnya penebusan dosa dari Isa Almasih, maka umat Nasrani pun akan masuk kedalam surga. Diajaran agama lain seperti Hindu dan Budha pun juga mengenal satu dimensi setelah kita meninggalkan dunia ini dan menuju alam kekal, yaitu surga dan neraka. Intinya sederhana kesemua agama mengajarkan kebaikan dan mengatakan tentang satu alam kekal setelah kita bermutasi dari alam fana ini dan meninggalkannya menuju alam kekal.

Sedangkan yang menjadi pertanyaannya adalah …
Jika setelah kita semua mati dan ternyata disana tidak ada yang surga atau neraka, disana hanyalah ruang hampa dan gelap serta tak ada apa – apa. Kita bagaikan setitik cahaya dalam kegelapan tanpa siapaapun dan tanpa apa pun dan tiba – tiba kita kembali lagi kedunia fana ini untuk menebus dosa masa lalu “reinkarnasi”
Jawaban yang sangat tidak memuaskan dan berkecendrungan memvonis itu terlontar dari mulut sang nara sumber yang mengatakan itu adalah faham kosong “Nihilsme” tanpa adanya penjelasan lebih lanjut meski setelah seminar itu bubar sang nara sumber datang dan mengusap – usap punggung ku seraya berkata pertanyaan bagus hanya waktunya saja yang tidak tepat.  Mungkin ada dimensi – dimensi lain dibelahan dunia ini atau mungkin dibelahan ruang dan waktu yang mungkin memilki celah untuk diamati serta dikaji lebih dalam lagi.

Ada satu hal yang penulis ingin sampaikan melalui bingkai karikarur pemikiran penulis pada kalian “pembaca” sekaligus teman belajar ku… Bahwa kematian itu adalah sesuatu yang wajar dan akan menghampiri serta datang pada setiap mahluk yang bernyawa. Tetapi bagaimana kita menghadapi kematian itu ketika datang…
Jika boleh penulis menganalogikan konsep tentang datangnya kematian maka akan tervisualisaikan dua konsep kematian yang ada dibenak penulis, yaitu
  1. Kematian akan datang dalam perwujudan wanita cantik dengan senyuman serta membawa kopi hitam dengan sebatang samsu. Jika memang kematian seperti itu datangnya maka tidak akan ada yang merasa takut untuk mati.. Ketakutan – ketakutan akan kematian yang datang adalah karenakan oleh kitanya saja belum siap untuk mati karena kita masih banyak doasa dan mungkin kita terlalu mencintai dunia yang semu ini.
  2. Kematian akan datang dalam perwujudan laki – laki berkumis tebal layaknya debt kolektor yang datang membawa berkas utang piutang yang seakan – akan menagih dan akan menyita jika kita tidak membayarnya. Jika memang kematian seperti itu datangnya maka tidak ada ynag siap intuk mati meski ia mendertia didunia. Karena jangankan untuk melihat, untuk membayangkannya saja kita sudah enggan
Ada satu hal yang lebih menakutkan dari penjelmaan kematian pada versi yang ke dua (2), yaitu matinya eksistensi diri serta jati diri. Karena kematian jenis ini merupakan kematian psikis yang menyebabkan matinya identitas diri kita.
Siapa kita ?
Dari mana kita?
Dan Akan Kemana kita
Dari ketiga pertanyaan yang mendasar tersebut timbul satu pernyataan tentang konsep KITA yang mengatakan bahwa KITA berfikir maka KITA ada
Kematian jenis inilah yang seharusnya lebih ditakuti dan di antisipasi bukan kematian fisik melainkan kematian karakter…maka gunakanlah akal pikiran serta nurani selama hidup sehingga jika kita mati nanti “fisik” karakter kita akan tetap hidup dalam diri dan pikiran orang lain.

Sumber : 
psikologi kematian

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Macys Printable Coupons