Rabu, 08 Juni 2011

Perbedaan Psikolog dan Psikiater


Beberapa orang bertanya begitu pada saya. Biasanya yang lebih banyak bertanya adalah orang-orang yang bidangnya sama sekali tidak bersinggungan dengan kedua bidang tersebut atau para calon mahasiswa yang memilih melanjutkan studi ke Fakultas Psikologi. Seperti saya dulu. Pertanyaan di atas adalah pertanyaan mendasar yang selayaknya diketahui seorang mahasiswa baru di Fakultas Psikologi agar nantinya kalau ada orang yang menanyakan pertanyaan serupa, si mahasiswa sudah tahu batasannya.

Dulu, saya sempat menganggap profesi psikolog dan psikiater itu sama saja. Sama-sama menangani orang yang sakit jiwa, begitu kata orang-orang kebanyakan. Apalagi definisi psikologi dan psikiatri sering disamakan sebagai “ilmu jiwa”. Padahal sejatinya definisi psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang perilaku manusia dalam hubungannya dengan lingkungan. Berbeda dengan psikiatri yang didefinisikan sebagai suatu cabang ilmu kedokteran yang mempelajari dan menangani gangguan mental, yang meliputi gangguan afektif, perilaku, kognitif dan perseptual (sumber: Wikipedia).

Memang, sekilas kedua profesi ini terlihat sama. Itu dikarenakan ranah kelimuannya bersinggungan di ranah psikis. Bahkan seorang ahli psikologi yang terkenal dengan teori psikoanalisanya, Sigmund Freud, sejatinya adalah seorang psikiater. Juga banyak ahli psikologi lain yang awalnya mendalami ilmu kedokteran lalu ikut berkontribusi dalam dunia psikologi. Tapi sebenarnya ada beberapa hal mendasar yang menjadi pembedanya. Berikut secara ringkas perbedaan tersebut.

Latar belakang pendidikan

Psikolog sudah pasti adalah lulusan dari Fakultas Psikologi. Lulusan S1 Psikologi sebenarnya sudah dapat bekerja di berbagai bidang yang membutuhkan jasa psikologi. Biasanya menjadi staf Human Resources Development (HRD) di berbagai instansi atau organisasi seperti, bank, perusahaan, kantor pemerintahan, atau menjadi konselor di sekolah-sekolah. Di dunia kerja, para lulusannya ini tampak setara dengan lulusan S1 dari berbagai jurusan, karena pada masa kini seringkali yang dibutuhkan adalah tenaga kerja dengan potensi, kemampuan dan keterampilan yang dapat memenuhi kualifikasi dari organisasi/perusahaan, bukan lagi berdasarkan jurusan pendidikannya di perguruan tinggi.

Namun perlu diingat, lulusan S1 Psikologi tidak serta merta disebut sebagai Psikolog. Sarjana S1 psikologi (bergelar S.Psi dibelakang namanya) masih harus melanjutkan pendidikannya ke jenjang Magister Profesi Psikologi (setara S2) untuk dapat meraih gelar Magister Psikologi (M. Psi) dan disebut sebagai psikolog. Sebagai praktisi psikologi, para psikolog ini memperoleh hak untuk ‘memegang’ alat tes, dalam arti menyimpan dan menggunakan alat tes psikologi serta menginterpretasikan hasilnya. Oleh karenanya mereka juga mendapatkan izin untuk membuka praktik sebagai psikolog di biro-biro konsultan psikologi yang biasanya ditangani secara perorangan atau kelompok (beberapa orang psikolog).

Berbeda lagi dengan lulusan S1 Psikologi yang menerusan pendidikan ke jenjang S2 sains psikologi (misalnya psikometri). Para lulusannya ini bergelar M. Si namun tidak dapat menyebut dirinya sebagai psikolog karena tidak berasal dari jenjang magister profesi psikologi. Tapi mereka dapat menjadi staf pengajar/akademisi karena persyaratan utama menjadi seorang staf pengajar di universitas (dosen) adalah bergelar S2. Mereka ini juga disebut sebagai ilmuwan psikologi. Selain itu, mereka juga dapat bekerja di berbagai instansi/organisasi yang membutuhkan kualifikasi pendidikan tersebut.

Selain lulusan S1 Psikologi, ada juga lulusan S1 non-psikologi yang meneruskan ke jenjang S2 psikologi. Namun para lulusannya ini hanya bisa melanjutkan ke magister sains psikologi, karena jenjang profesi psikologi hanya dikhususkan untuk lulusan S1 psikologi. Hal ini dikarenakan pentingnya pemahaman mendasar tentang ilmu psikologi yang diperoleh dari jenjang S1 agar nantinya langsung dapat mendalami kekhususan yang dipilih di jenjang profesi psikologi, dimana hal ini tentunya tidak didapatkan oleh lulusan S1 non-psikologi.

Sementara psikiater adalah dokter yang melanjutkan pendidikan ke jenjang spesialisasi psikiatri (kedokteran jiwa). Para lulusan spesialisasi ini digelari “Sp.KJ” (Spesialis Kedokteran Jiwa) atau disebut sebagai psikiater.

Batas Kewenangan Profesi

Mungkin kita seringkali bingung untuk merujuk seseorang yang mengalami masalah yang berkaitan dengan psikologis, apakah harus ke psikolog atau ke psikiater?

Sebagaimana spesialisasi dalam bidang kedokteran, psikologi juga memiliki banyak kekhususan, seperti psikologi klinis (meliputi psikologi klinis anak dan psikologi klinis dewasa), psikologi sosial, psikologi pendidikan, psikologi industri dan organisasi, psikologi perkembangan, dan sebagainya. Psikiater lebih dekat hubungannya dengan psikolog klinis.

Masalah-masalah yang biasanya dapat ditangani oleh psikolog secara umum adalah masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari yang masih dapat ditangani dengan konseling atau terapi ringan, misalnya dengan terapi modifikasi perilaku atau juga cognitive behavior therapy (CBT).

Masalah-masalah yang dimaksud berkisar pada ranah pendidikan (anak malas belajar, berperilaku agresif, suka membolos, takut sekolah, tidak konsentrasi belajar, prestasi belajar menurun, takut bergaul atau kurang percaya diri, sampai pada masalah pemilihan jurusan yang tepat dan sesuai dengan potensi dan kemampuan akademik anak), ranah keluarga (masalah perkawinan, perceraian yang menghasilkan keluarga broken home, masalah kenakalan remaja), dan ranah pekerjaan (masalah kepemimpinan, motivasi kerja, kepuasan kerja).

Sedangkan psikiater menangani masalah-masalah psikologis yang lebih berat, seperti depresi, gangguan mood, insomnia berat, schizophrenia (yang ditandai dengan munculnya halusinasi dan delusi), dan berbagai masalah psikologis lain yang membutuhkan penanganan lebih dari sekedar konseling. Biasanya para psikiater ini menggunakan obat-obatan dalam proses terapinya. Inilah yang membedakannya dengan psikolog.

Satu hal lagi adalah tentang penyebutan mitra kerja. Orang yang berobat ke psikiater sudah barang tentu disebut sebagai ‘pasien’, sementara orang yang datang ke psikolog disebut sebagai ‘klien’. Perlu ditekankan bahwa tidak semua orang yang datang ke biro-biro psikologi adalah orang-orang yang memiliki masalah psikologis. Para klien ini bisa saja datang karena ingin melakukan pemeriksaan psikologis (psikotes) untuk kepentingan seleksi dan rekrutmen karyawan atau penentuan jurusan studi siswa. Demikian juga dengan para pasien yang datang ke psikiater. Mereka tidak boleh serta merta disebut “gila” karena meminta bantuan psikiater.

Pada kenyataannya, kedua profesi ini saling bekerjasama dalam hal merujuk pasien. Apabila seorang klien tak dapat ditangani oleh seorang psikolog karena gangguan psikologisnya sudah berat dan membutuhkan penanganan dengan obat-obatan, maka klien tersebut dirujuk ke psikiater. Demikian juga dengan pasien yang sudah dinyatakan sembuh oleh psikiater, maka untuk meyakinkannya lagi, perlu diperiksa kembali oleh psikolog.

Jadi, tak masalah jika suatu waktu kita membutuhkan jasa psikolog atau psikiater. Karena kedua profesi ini berprinsip menolong (helping) dan pastinya memegang kode etik yang sama; menjaga kerahasiaan masalah klien/pasien.

***

Sumber : http://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2011/01/27/apa-sih-bedanya-psikolog-dengan-psikiater/

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Macys Printable Coupons